Poligami dan Keadilan

M3.2-I4.2-2S2-Z4.2-A4

Ketika seorang wanita bilang laki-laki tidak akan bisa berlaku adil terutama saat topik yang dibahas berkisar poligami dan sekitarnya, maka apakah perilaku adil bila menyeberang jalan tidak pada tempatnya, atau berhenti di depan marka jalan saat lampu merah bahkan menerobosnya, atau mengambil uang yang bukan haknya meski diberikan pada semua pegawai? Saya menjadi bingung bagaimana norma bisa dinilai berdasarkan “like and dislike” seperti itu. Yang saya maksud tentu bukan bingung yang digambarkan dalam kartun di persimpangan jalan tentu, melainkan bingung bagaimana menyikapinya dengan adil. Saya minta maaf bila menyebut wanita sebagai subyek pelaku di atas, bukan berarti laki-laki tidak berlaku sama. Cuma bila laki-laki berbeda pandangan maka satu dua jotosan ringan mungkin saja menyelesaikan masalah tapi tentu tidak bisa diberlakukan pada wanita bukan. Karena saya mengingat pesan Nabi saw. bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, yang patah bila dipaksa lurus tetapi tetap bengkok jika dibiarkan. Pesan ini adalah pernyataan psikologis yang sangat mengena.

Entah apa yang ada dalam pikiran orang-orang bijak dahulu yang bisa bersabar dengan istri-istri mereka yang cerewet, yang tidak pernah puas dengan kondisi yang dialami sedangkan mereka hidup bersama orang-orang yang sangat dekat dengan Sang Pencipta. Dulu saya tidak mengerti apa hubungan kedekatan manusia dengan Tuhannya saat dihubungkan dengan masalah hubungan manusia dengan manusia, atau bahkan dengan kehidupannya di dunia. Ilustrasi yang mudah adalah seperti menjadi anak atau anak buah kesayangan bagi ortu atau bos sedemikian sehingga kondisi yang tidak mengenakkan akan dijauhkan darinya meski hal itu tidak selalu menyenangkan.

Orang-orang yang diberikan kemuliaan di mata manusia tidak selalu mulia di mata Rabbnya tapi orang-orang yang mulia dalam pandangan Sang Kholik pasti mulia di mata orang-orang beriman. Apakah tidak beruntung memiliki seorang suami yang meski kecenderungannya tidak berbeda dengan laki-laki pada umumnya tapi tidak ingin wanita yang dicintainya menderita? Memikirkan berbagi suami tentu tidak bisa lepas dari berbagi hak nafkah, berbagi waktu dan perhatian, dan mungkin berbagi harta waris nantinya. Tapi hidup tidak melulu tentang itu bukan? Berbagi kebahagiaan sebagai seorang wanita yang dicintai tulus oleh seorang laki-laki yang tidak semua wanita beruntung bisa merasakannya. Atau berbagi status sebagai wanita bersuami yang menurut banyak orang lebih terhormat dibanding perawan tua atau janda. Atau berbagi banyak hal yang tentu bila tidak sadar tentu tidak ingin membagi dengan siapapun, bahkan hak seorang ibu atas anak laki-lakinya menjadi terabaikan. Semua indah kecuali satu kata di depan yaitu “berbagi”. Karena ini buat saya bukan masalah gender yang selalu menghakimi poligami sebagai dosa bagi kaum laki-laki melainkan penyakit “wahn” yang dikhawatiri Nabi saw. berabad yang lalu.

Manusia, tidak hanya wanita, saat ini mulai kehilangan istilah “berbagi dengan adil” pada orang lain yang boleh jadi punya hak sama sebagai manusia. Maka mencap orang lain tidak bisa berlaku adil lebih mudah dilakukan terutama karena diri tidak mau berbagi dengan adil. Bukan hanya poligami yang mesti berprinsip berbagi dengan adil, menyeberang di zebra-cross atau jembatan penyeberangan adalah berbagi jalan dengan adil sama saat pengendara kendaraan berhenti di belakang marka atau tidak menerobos lampu merah. Begitupun dengan tidak korupsi meski hanya menerima bagian dan dengannya bisa membelikan kebutuhan rumah tangga yang diimpikan. Karena berlaku adil itu berat dan hanya ketika manusia saling menolong dan mengingatkan saja maka itu bisa terwujud. Maka berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat dengan ketakwaan.

image
Kehidupan ibarat tangga yang menanjak